Oleh : Mardianto Ra’bang
Juara 2 Sayembara Karya Tulis The Legend of Pongtiku II
Di tengah derasnya arus globalisasi dan modernisasi, identitas budaya menjadi tiang utama yang menyangga eksistensi suatu bangsa. Di Tana Toraja, warisan leluhur bukan hanya terlihat dari rumah adat Tongkonan atau upacara Rambu Solo', tetapi juga dari semangat kolektif menjaga kebudayaan sebagai bentuk kebanggaan dan nasionalisme. Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan Nasional, khususnya mengenang tokoh pejuang Toraja, Pongtiku, karya tulis ini mengajak kita untuk merefleksikan kembali peran budaya dan pariwisata sebagai media pembangun semangat kebangsaan di era modern.
Sebagai seorang pendidik yang lahir dan besar di Toraja, saya menyaksikan secara langsung dinamika perubahan nilai-nilai budaya yang terjadi di tengah generasi muda. Tantangan utama yang kita hadapi saat ini adalah bagaimana menanamkan rasa cinta terhadap budaya lokal di tengah gempuran budaya global yang lebih instan dan menarik secara visual. Generasi muda saat ini mulai mengalami keterputusan dari akar budaya mereka. Media sosial, tren budaya global, dan urbanisasi yang cepat karena tuntutan pendidikan telah mengikis waktu dan minat mereka untuk belajar dan terlibat aktif dalam kegiatan adat. Jika dibiarkan, akan timbul krisis identitas yang pelan tapi pasti memudarkan semangat nasionalisme lokal. Oleh karena itu, perlu adanya pendekatan kolaboratif antara sekolah, keluarga, dan komunitas adat untuk membangun kembali keterikatan generasi muda dengan nilai-nilai budaya leluhur.

Nasionalisme bukan hanya semangat membela tanah air dari penjajah. Di era modern ini, nasionalisme juga berarti kesadaran untuk mencintai, menjaga, dan menghidupkan nilai-nilai luhur bangsa. Budaya dan pariwisata adalah dua sisi mata uang yang jika dikelola dengan bijak, mampu menumbuhkan rasa bangga sebagai bagian dari bangsa yang besar. Budaya Toraja adalah simbol nasionalisme yang hidup, mulai dari filosofi hidup dalam struktur sosial Tongkonan, hingga ekspresi artistik dalam karya seni ukir, tenun, dan tarian. Upacara adat Rambu Solo', misalnya, selain menjadi ritus spiritual, juga sarana pendidikan moral bagi generasi muda. Nilai-nilai seperti gotong royong, hormat pada leluhur, serta kesabaran dan ketekunan dalam setiap prosesi upacara adalah bagian dari pendidikan karakter yang sangat relevan dalam pembentukan jiwa nasionalis.
Salah satu situs penting yang patut mendapat perhatian khusus dalam konteks pelestarian budaya dan sejarah adalah makam Pahlawan Nasional Pongtiku yang terletak di Kecamatan Rindingallo, Toraja Utara. Situs ini tidak hanya menjadi simbol perlawanan terhadap penjajah, tetapi juga menjadi bukti nyata keberanian dan kecintaan terhadap tanah air. Upaya memelihara makam tersebut harus dilakukan secara berkelanjutan, baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat setempat, melalui perawatan fisik kompleks makam, pemasangan papan informasi sejarah, serta menjadikannya sebagai bagian dari jalur wisata sejarah yang edukatif bagi pelajar dan wisatawan. Mengajak siswa untuk melakukan kunjungan belajar ke situs ini juga merupakan langkah strategis dalam membentuk kesadaran sejarah dan nasionalisme sejak dini. Melalui pembelajaran yang melibatkan sejarah, sains, dan nilai budaya, siswa tidak hanya mengenal tokoh lokal seperti Pongtiku, tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai perjuangan dan semangat menjaga warisan leluhur.
Toraja dianugerahi keindahan alam dan budaya yang luar biasa. Dari Lemo, Kete Kesu, Buntu Burake, sampai Pango-Pango, semuanya menawarkan daya tarik yang bukan hanya indah, tetapi juga sarat nilai edukatif dan historis. Menurut data dari Dinas Pariwisata Sulawesi Selatan, kunjungan wisatawan ke Toraja mengalami peningkatan signifikan hingga mencapai lebih dari 250.000 wisatawan pada tahun 2023. Hal ini menunjukkan adanya potensi besar untuk menjadikan pariwisata sebagai pendorong kebanggaan budaya sekaligus pertumbuhan ekonomi lokal. Namun, potensi ini tidak akan maksimal jika tidak dibarengi dengan kesadaran masyarakat lokal, terutama generasi muda, tentang pentingnya menjaga dan mempromosikan budayanya sendiri. Di sinilah peran sekolah dan guru menjadi sangat vital. Edukasi mengenai budaya dan potensi lokal harus menjadi bagian dari proses pembelajaran, baik secara formal maupun nonformal. Melalui pendekatan ini, semangat kebanggaan terhadap budaya bangsa dapat terus ditumbuhkan.
Mengembangkan pariwisata berbasis budaya dan alam bukan hanya jalan menuju kesejahteraan ekonomi, tetapi juga cara strategis untuk menumbuhkan kebanggaan terhadap identitas lokal. Wisata edukatif yang melibatkan masyarakat setempat, terutama generasi muda sebagai pemandu, pelaku seni, hingga pengelola UMKM, bisa menjadi sarana menanamkan kembali nilai-nilai budaya yang nyaris terlupakan. Sebagai contoh, program yang mengajak pelajar mengunjungi situs-situs budaya dan alam dapat menjadi bagian dari kurikulum muatan lokal. Selain menambah wawasan, kegiatan ini menumbuhkan rasa memiliki yang kuat terhadap warisan leluhur.
Sebagai pendidik, saya melihat fenomena ini sebagai sinyal penting bahwa pendidikan harus lebih proaktif dalam mengintegrasikan muatan lokal ke dalam pembelajaran. Dalam pelajaran IPA, misalnya, kita bisa mengenalkan filosofi Tongkonan sebagai bagian dari pembelajaran tentang arsitektur ramah lingkungan, atau membahas ekosistem dalam konteks pertanian tradisional Toraja yang menggunakan prinsip berkelanjutan. Dengan begitu, siswa tidak hanya memahami konsep ilmiah tetapi juga melihat keterkaitan antara ilmu dan budaya mereka sendiri. Hal ini sangat penting untuk menumbuhkan kecintaan terhadap budaya sendiri sekaligus menumbuhkan rasa bangga sebagai bagian dari masyarakat Toraja.
Sebagai guru IPA, saya berupaya untuk menghadirkan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran. Salah satu cara yang saya lakukan adalah mengajak siswa melakukan kegiatan observasi lingkungan berbasis kearifan lokal. Contohnya, kami pernah membudidayakan jenis-jenis tanaman obat tradisional Toraja, serta mempelajari proses pembuatan makanan tradisional khas Toraja seperti pa’piong, pa’lawa’, dan pantollo’ pamarrasan. Melalui kegiatan ini, siswa tidak hanya belajar konsep IPA, tetapi juga menyadari bahwa ilmu pengetahuan sangat relevan dengan kehidupan dan tradisi mereka.
Tak kalah penting adalah peran guru sebagai role model. Dalam keseharian, saya berusaha menunjukkan semangat nasionalisme melalui penggunaan bahasa Toraja, berpakaian adat di sekolah setiap hari Kamis baik guru maupun siswa, dan menyisipkan cerita-cerita lokal dalam pembelajaran. Dengan begitu, saya berharap siswa melihat bahwa mencintai budaya bukanlah hal kuno, melainkan tindakan visioner untuk masa depan.
Lebih jauh, kerja sama dengan pelaku wisata lokal juga dapat memperkuat pembelajaran budaya secara nyata. Sekolah bisa bermitra dengan pelaku pariwisata lokal untuk membuat program wisata edukatif, di mana siswa bisa menjadi pemandu cilik yang menjelaskan nilai-nilai budaya dan lingkungan kepada wisatawan. Dengan cara ini, kita tidak hanya melestarikan budaya, tetapi juga membangun rasa percaya diri dan nasionalisme anak-anak Toraja. Kegiatan seperti ini merupakan bentuk nyata pemberdayaan generasi muda sebagai pelaku aktif dalam pelestarian budaya.
Untuk menjaga dan mengembangkan budaya serta pariwisata di Toraja, berikut beberapa gagasan konkret:
- Integrasi Budaya dalam Kurikulum Sekolah: Pemerintah daerah perlu mendorong sekolah-sekolah untuk memiliki muatan lokal yang kuat, baik dalam bentuk mata pelajaran maupun kegiatan ekstrakurikuler.
- Pelatihan Digital untuk Pelestarian Budaya: Generasi muda bisa diajak membuat konten media sosial yang positif dan edukatif tentang budaya Toraja. Konten seperti vlog upacara adat, tutorial menenun, atau cerita rakyat dalam bentuk animasi bisa menjangkau audiens luas.
- Festival Budaya dan Wisata Lokal: Agenda tahunan yang melibatkan sekolah, komunitas adat, pelaku wisata, dan UMKM bisa menjadi ajang kolaboratif memperkenalkan budaya sekaligus menumbuhkan ekonomi lokal.
- Kemitraan Sekolah dan Komunitas Adat: Menghidupkan kembali kearifan lokal dengan menjalin kerja sama antara sekolah dan pemangku adat agar siswa bisa belajar langsung dari sumbernya.
- Pusat Informasi Budaya dan Wisata di Sekolah: Sekolah bisa menjadi pusat informasi dan promosi wisata lokal, dengan siswa menjadi "duta budaya" yang mengenalkan kekayaan Toraja kepada pengunjung.
Sebagai pendidik di tanah Sangtorayan, saya percaya bahwa masa depan budaya kita tergantung pada apa yang kita ajarkan hari ini. Saya merasa terpanggil untuk terus menanamkan nilai-nilai lokal kepada siswa saya, bukan dalam bentuk doktrin, tetapi melalui pengalaman, pembelajaran, dan keteladanan. Dengan membangun kesadaran budaya sejak dini, kita dapat menciptakan generasi yang mencintai bangsanya, memahami akar budayanya, dan siap bersaing secara global tanpa kehilangan jati diri. Generasi muda yang memahami dan bangga terhadap budayanya akan menjadi tiang penyangga utama dalam menjaga keberlanjutan budaya bangsa. Melalui pendidikan, pariwisata, dan keteladanan, kita bisa memastikan bahwa semangat Pongtiku tetap menyala dalam dada generasi Toraja yang baru, generasi yang tidak hanya mengenal akar, tetapi juga mampu bertumbuh tinggi menjangkau dunia tanpa kehilangan identitasnya. Mari kita terus melangkah bersama dalam semangat Pongtiku: berani, teguh, dan cinta tanah air.
BIOGRAFI PENULIS

Nama saya Mardianto Ra’bang, lahir di Pangala’, 15 November 1996. Sejak kecil, saya tumbuh di lingkungan yang menjunjung tinggi nilai pendidikan dan kebudayaan. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar bagi saya untuk menekuni dunia pendidikan, khususnya dalam bidang ilmu Sains. Saya menyelesaikan pendidikan S-2 di bidang Pendidikan Kimia dari kampus Universitas Negeri Makassar, sebuah bidang yang tidak hanya menuntut logika dan ketelitian, tetapi juga kreativitas dalam menyampaikan konsep-konsep ilmiah kepada peserta didik.
Saat ini, saya mengabdi sebagai ASN Guru Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SMP Negeri 5 Sa’dan, kabupaten Toraja Utara. Dalam keseharian sebagai guru, saya berusaha mengembangkan pendekatan pembelajaran yang kontekstual dan bermakna, mengaitkan konsep-konsep sains dengan kehidupan nyata dan budaya lokal. Saya percaya bahwa sains tidak hanya harus dipahami sebagai kumpulan rumus dan teori, tetapi juga sebagai cara berpikir dan alat untuk memecahkan masalah kehidupan.
Selain mengajar, saya aktif menulis dan menyusun berbagai bahan ajar, modul, serta proyek berbasis kurikulum merdeka, termasuk penguatan Profil Pelajar Pancasila. Karya-karya saya banyak terinspirasi dari lingkungan sekitar, nilai-nilai kearifan lokal, dan kebutuhan siswa di era digital yang terus berkembang.
Bagi saya, menjadi pendidik bukan sekadar profesi, tetapi panggilan hati. Saya ingin terus belajar, berbagi, dan menjadi bagian dari perubahan pendidikan yang lebih manusiawi dan bermakna. Saat ini, saya berdomisili di Rantepao dan terus berupaya menumbuhkan semangat literasi sains dan karakter mulia di tengah generasi muda Toraja.